1/11/2009

TINJAUAN PUSTAKA



A.    Tinjauan Pustaka

1.      Ekosistem Mangrove

a.     Pengertian ekosistem mangrove

Kata mangrove berasal dari bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggeris grove.  Dalam bahasa Inggeris, kata mangrove digunakan untuk komunitas hutan atau semak yang tumbuh di pantai/pulau walaupun beberapa spesies lain berasosiasi didalamnya.  Sedangkan dalam bahasa Portugis umumnya, kata mangrove digunakan untuk spesies secara individu dan untuk komunitas hutan yang terdiri dari spesies mangrove (Dewi, dkk. (1996).

Di dalam surat keputusan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Kehutanan No. 60/Kpts/DJ/1978, yang dimaksud dengan hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara-muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut

Anwar dkk., (1984), mengemukakan bahwa istilah bakau untuk menghindarkan kemungkinan salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas pohon bakau Rhizophora spp.  Kemudian oleh Nontji (1987), dijelaskan bahwa untuk menghindari kekeliruan perlu dipertegas bahwa istilah bakau hendaknya hanya untuk jenis tumbuhan tertentu saja, yakni dari marga Rhizophora.  Sedangkan istilah mangrove digunakan untuk segala tumbuhan yang hidup di lingkungan khas ini.

Ekosistem mangrove adalah suatu ekosistem yang berkembang di daerah pantai berair tenang dan terlindung dari pengaruh ombak besar serta ekosistemnya bergantung kepada adanya aliran air laut dan aliran air tawar dari darat. Komponen tumbuhannya sebagian besar berupa jenis-jenis yang keanekaragamannya jauh lebih kecil dari ekosistem hutan darat. Komponen hewannya sebagian besar hewan avertebrata (Sukarjo, 1981 dalam Istomo, 1992).

Hutan Mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Hutan mangrove mempunyai ciri-ciri antara lain;

(a)    Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya  berlumpur, berlempung dan berpasir.

(b)   Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.

(c)    Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.

Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (mencapai 38 permil). (Bengen, 2000).

b.     Zonasi dan penyebaran vegetasi mangrove

Zonasi adalah kondisi dimana kumpulan vegetasi yang saling berdekatan mempunyai sedikit atau tidak ada sama sekali jenis yang sama walaupun tumbuh dalam lingkungan yang sama dan keadaan dimana terdapat perubahan lingkungan yang dapat mengakibatkan perubahan yang nyata diantara kumpulan vegetasi.  Lebih lanjut dijelaskan bahwa perubahan vegetasi dapat terjadi dengan batas yang jelas atau tidak jelas atau bisa terjadi bersama-sama (Anwar, dkk,1984).

Mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, yang seluruhnya tercatat sebanyak 202 jenis tumbuhan (Bengen, 2000). Jenis pohon dan zonasi tumbuhan mangrove memiliki berbagai variasi pada lokasi yang berbeda, ditentukan oleh jenis tanah, kedalaman dan periode genangan, kadar garam dan daya tahan terhadap ombak serta arus (Nontji, 1987).

Jenis tumbuhan mangrove mempunyai berbagai variasi pada lokasi yang berbeda.  Suatu kawasan hutan mangrove dapat meliputi beberapa kelompok mangrove yang masing-masing kelompok terdiri dari spesies-spesies yang berbeda.  Kelompok mangrove dapat terdiri dari satu spesies yang dominan ataupun pencampuran antar beberapa spesies (Amran, 2000).

Adapun daerah penyebaran pohon mangrove pada mintakatnya menurut Walter (1971), tersusun sebagai berikut : jenis pohon mangrove yang terdapat pada batas pantai yang mengarah ke laut didominasi oleh Avicennia sp, yaitu jenis pohon yang memiliki akar pasak.  Pohon bakau merah (Rhizophora sp) menggantikan jenis Avicennia sp pada tingkat pemukiman berikutnya. Jenis pohon ini ditandai oleh bentuk akar-akarnya yang bersifat menopang (akar tunjang) yang sangat tebal dan hampir tidak dapat ditembus. Bruguiera sp merupakan spesies tumbuhan mangrove lain yang sering dijumpai pada mintakat berikutnya yang mengarah ke daratan  dan kemudian diikuti oleh tumbuh-tumbuhan, semak, dan Ceriops.

Bengen (2000), mengatakan bahwa salah satu tipe zonasi hutan mangrove yang ada di Indonesia yaitu:

(a)    Daerah yang paling dekat dengan laut, dengan substrat agak berpasir, sering ditumbuhi oleh Avicennia spp. Pada zona ini biasa berasosiasi dengan Sonneratia spp yang dominan tumbuh pada lumpur dalam yang kaya bahan organik.

(b)   Lebih kearah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp.  Di zona ini juga Bruguiera spp dan Xilocarpus spp.

(c)    Zona berikutnya didominasi oleh Bruguiera spp.

(d)   Zona transisi antara hutan mangrove dengan hutan dataran rendah biasa ditumbuhi oleh Nypa fruticans, dan beberapa spesies palem lainnya.

Oleh Kartawinata, dkk dalam Anwar (1984) mengatakan bahwa faktor utama yang menyebabkan adanya zonasi di dalam hutan mangrove adalah sifat-sifat tanah, disamping faktor salinitas, frekuensi serta tingkat penggenangan dan ketahanan suatu jenis terhadap ombak dan arus.

Mangrove umumnya tumbuh dalam 4 (empat) zona, yaitu pada daerah terbuka, daerah tengah, daerah yang memiliki sungai berair payau sampai hampir tawar, serta daerah kearah daratan yang memiliki air tawar. Zona-zona tersebut adalah:

(a)    Mangrove Terbuka, berada pada bagian yang berhadapan dengan laut. Komposisi dari komunitas di zona terbuka sangat tergantung pada substratnya. Contoh tanamannya adalah Sonneratia alba yang mendominasi daerah berpasir sementara Avicenia marina dan Mangrove cenderung untuk mendominasi daerah yang berlumpur (Stenis, 1958 dalam Imran, 2002).

(b)   Mangrove tengah, terletak dibelakang mangrove zona terbuka. Di zona ini biasanya didominasi oleh jenis Rhizophora sp. Jenis-jenis penting lainnya yang ditemukan adalah Bruguiera sp, Ceriop sp , Excoecaria agallocha, Mangrove, Xylocarpus granatum dan  Xylocarpus. moluccensis.

(c)    Mangrove payau, berada disepanjang sungai berair payau hingga hampir tawar. Di zona ini biasanya didominasi oleh komunitas Nypa sp. atau Sonneratia sp. Di jalur lain biasanya ditemukan tegakan Nypa fruticans yang bersambung dengan vegetasi yang terdiri dari Cerbera sp, Gluta renghas, Stenochlaena palustris, dan Xylocarpus granatum. Ke arah pantai campuran komunitas Sonneratia sp – Nypa sp lebih sering ditemukan. (Giesen, 1991 dalam Imran, 2002).

(d)   Mangrove daratan, berada di zona perairan payau atau hampir tawar di belakang jalur hijau mangrove sebenarnya. Zona ini memiliki kekayaan jenis yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya. Jenis-jenis yang umum ditemukan pada zona ini termasuk Ficus microcarpus, Ficus Retusa, Intsia bijuga, Nypa ,fruticans, Lumnitza racemoza, Pandanus sp dan Xylocarpus moluccensis (Giesen, 1991 dalam Imran, 2002).

Nybakken (1993), bahwa salah satu faktor fisik yang berpengaruh terhadap penzonasian  hutan mangrove adalah pasang surut, dimana pasang surut dan kisaran vertikalnya yang membedakan periodesitas penggenangan hutan yang nantinya akan penting dalam membedakan kumpulan jenis mangrove yang dapat tumbuh pada suatu daerah dan mungkin berperan dalam pembedaan tipe-tipe zonasi.  Ditambahkan lagi bahwa daerah yang menghadap ke arah laut dari mangal Pasifik sebagian besar didominasi oleh satu atau lebih Avicennia.  Bagian pinggir  Avicennia biasanya sempit, karena benih Avicennia  tidak dapat tumbuh dengan baik pada keadaan yang teduh atau berlumpur tebal yang biasanya terdapat dalam hutan.  Yang berasosiasi di dalam zona ini dan tumbuh pada bagian yang menghadap ke arah laut adalah pohon-pohon dari genus Sonneratia, yang tumbuh pada daerah yang senantiasa basah.  Di belakang zona Avicennia terdapat zona Rhizophora, yang didominasi oleh satu atau lebih spesies dan berkembang pada daerah intertidal yang luas.  Di depan yang menghadap ke daratan  adalah zona Bruguiera, dimana pohon ini berkembang pada sedimen tanah liat pada tingkat air pasang purnama yang tinggi.  Zona yang terakhir adalah zona Ceriops, suatu asosiasi dari semak-semak yang kecil.

 

c.     Kerusakan hutan mangrove

Pramudji, dkk (1987) mengemukakan bahwa lingkungan hutan mangrove adalah sangat peka terhadap segala perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya.  Perubahan ini dapat disebabkan oleh tindakan mekanis secara langsung, misalnya penebangan hutan mangrove yang diperuntukkan sebagai lahan pertambakan atau untuk usaha lainnya.  Sedangkan sebagai tindakan tidak langsung adalah seperti pencemaran minyak, perubahan salinitas, sedimentasi dan kegiatan lainnya.

Nybakken (1993) menyatakan bahwa ada 2 sebab utama kerusakan hutan mangrove yakni, secara alami dan campur tangan manusia.  Proses alami seperti badai topan dapat merusak ekosistem hutan mangrove dengan memporakporandakan tumbuhan mangrove.  Sedangkan adanya campur tangan manusia pada ekosistem mangrove erat kaitannya dengan konversi lahan hutan mangrove menjadi areal pertambakan dan penebangan untuk pemanfaatan kayu dari hutan mangrove.

Salah satu faktor dominan yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove adalah pemanfaatan lahan oleh manusia yang berlebihan.  Adapun gangguan karena alam antara lain banjir, kekeringan, hama penyakit relatif kecil.  Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkan tuntutan untuk mendayagunakan sumberdaya mangrove terus meningkat (Perum Perhutani, 1994).

Nurkin (1994) mengemukakan bahwa secara tradisional di Sulawesi Selatan penggunaan hutan mangrove sebagai sumber untuk memperoleh kayu sebagai kayu pertukangan, konstruksi maupun sebagai kayu bakar telah lama dikenal oleh masyarakat yang bermukim di wilayah pantai.  Jadi kerusakan hutan mangrove tidak terlepas dari kegiatan manusia yang mengambil manfaat dari keberadaan mangrove tersebut.

Ada kecenderungan penduduk merubah hutan-hutan bakau menjadi tambak.  Hal ini disebabkan karena usaha pertambakan kelihatannya lebih menguntungkan dibanding usaha-usaha lain yang ada sebagai sumber mata pencaharian.  Kehadiran hutan bakau bagi penduduk tidaklah merupakan sesuatu yang harus dipertahankan. (Pusat Studi Lingkungan (PSL) UNHAS, 1980).

Namun pada kenyataannya, pengelolaan sumberdaya alam hutan mangrove di Indonesia pada umumnya dan Sulawesi Selatan  pada khususnya belum sesuai dengan apa yang diharapkan.  Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:

(a)    Adanya  perbedaan status pemilikan/penguasaan kawasan hutan mangrove,

(b)   Masih kurangnya kesadaran masyarakat akan arti penting hutan mangrove baik dari segi fisik, biologi maupun dari segi ekonomi,

(c)    Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang peranan hutan mangrove di dalam ekosistem (Suto, 1993).

 

2.      Teknologi Penginderaan Jauh

a.      Pengertian dan prinsip dasar penginderaan jauh

Lillesand dan Kiefer (1979) mendefenisikan penginderaan jauh sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh melalui suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji.

Menurut Butler et al (1988) mengatakan bahwa teknik penginderaan jauh merupakan suatu cara untuk mendapatkan atau mengumpulkan informasi mengenai obyek dengan dasar pengukuran dilakukan pada jarak tertentu dari objek atau kejadian tersebut tanpa menyentuh atau melakukan kontak fisik langsung dengan objek yang sedang diamati.  Informasi yang diperoleh berupa radiasi gelombang elektromagnetik yang datang dari suatu obyek di permukaan bumi, baik yang dipancarkan maupun yang dipantulkan oleh obyek tersebut yang kemudian diterima oleh sensor. Sensor ini dapat berupa kamera atau peralatan elektronik lainnya.

Menurut Sutanto (1994), ada empat komponen penting dalam sistem penginderaan jauh adalah:

(1) sumber tenaga elektromagnetik,

(2) atmosfer,

(3) interaksi antara tenaga dan objek,

(4) sensor.

Secara skematik dapat dilihat pada Gambar 2.1.

  

Gambar 2.1:   Sistem Penginderaan Jauh (Sutanto, 1994)

 

Besarnya intensitas radiasi yang diterima oleh sensor tergantung pada karakteristik obyek dan panjang gelombang yang tiba pada obyek tersebut. Dengan kata lain, setiap obyek mempunyai karakteristik pantulan (refleksi), penerusan (transmisi), dan pancaran (emisi) yang berbeda-beda.

Gambar 2.1, menunjukkan secara umum proses penginderaan jauh yang meliputi dua proses utama yaitu pengumpulan data dan analisis data.  Proses pengumpulan data meliputi :

(a)    Pancaran energi dari sumber energi,

(b)   Perjalanan energi melalui atmosfer,

(c)    Interkasi antara energi dan kenampakan di muka bumi,

(d)   Wahana dapat berupa pesawat atau satelit,

(e)    Hasil data dalam bentuk piktorial atau numerik,

(f)    Pengujian data dengan menggunakan alat interpretasi dan alat pengamatan untuk menganalisis data piktorial dan komputer untuk menganalisis data sensor numerik,

(g)   Informasi dapat berupa laporan atau dalam bentuk tabel dan peta,

(h)   Informasi tersebut diperuntukkan untuk pengguna yang memanfaatkan untuk proses pengambilan keputusan (Lillesand dan Kiefer, 1979).

Lo (1976) dalam Sutanto (1986), mengemukakan bahwa pada dasarnya kegiatan interpretasi citra terdiri dari dua tingkat yaitu, tingkat pertama berupa pengenalan objek melalui proses deteksi dan identifikasi, dan tingkat kedua berupa penilaian atas pentingnya objek yang telah dikenali tersebut, yaitu arti pentingnya tiap objek dan kaitannya dengan antar objek tersebut.  Tingkat pertama berarti perolehan data, sedangkan pada tingkat kedua berupa interpretasi atau analisis data.  Di dalam upaya otomatisasi, hanya tingkat pertamalah yang dapat dikomputerkan.  Tingkat kedua harus dilakukan oleh orang yang berbekal ilmu pengetahuan cukup memadai pada disiplin ilmu tertentu.

Model data pada citra adalah model data raster yaitu bentuk dimana setiap lokasi dipresentasikan sebagai suatu posisi sel.  Sel yang diorganisasikan ini dalam bentuk kolom dan baris sel-sel yang biasa disebut grid.  Setiap baris matrik berisikan berisikan sejumlah sel yang memiliki nilai tertentu yang mempresentasikan suatu fenomena geografis.  Nilai yang terkandung oleh suatu sel adalah angka yang menunjukkan data nominal, misalnya kelas lahan, konsentrasi polutan dan lain-lain (Hakim, 1996).

Oleh Sutanto (1986) dikatakan bahwa tiap obyek memiliki karakteristik tersendiri di dalam menyerap dan memantulkan tenaga yang diterima olehnya. Karakteristik ini disebut karakteristik spektral yang ditunjukkan sebagaimana kurva pantulan umum vegetasi, tanah, dan air.

 

Gambar 2.2 Kurva Pantulan Umum Vegetasi, Tanah dan Air (Ford, 1979 dalam Sutanto,1994).

Meaden dan Kapetsky (1991) menjelaskan bahwa penginderaan jauh dalam kerjanya memanfaatkan sensor yang digunakan untuk memotret suatu area dari udara dengan tujuan mengidentifikasi dan mengukur parameter-parameter fisik yang direfleksikan dan dipantulkan dari obyek tersebut dengan menggunakan radiasi elektromagnetik.  Beberapa kelebihannya antara lain:

(a)    Citra menggambarkan obyek, daerah, dan gejala dipermukaan bumi dengan wujud dan letak obyek yang mirip dengan obyek aslinya,

(b)   Karakteristik yang tidak nampak dapat diwujudkan dalam bentuk citra, sehingga dimungkinkan pengenalan obyeknya,

(c)    Citra dapat dibuat secara cepat meskipun untuk daerah yang sulit dijelajahi,

(d)   Citra sering dibuat dengan periode ulang yang pendek,

(e)    Dapat merekam kondisi laut dengan cakupan yang sempit maupun luas.

 

b.      Karakteristik Satelit SPOT

Satelit SPOT merupakan seri satelit milik CNES, Perancis. SPOT adalah singkatan dari Satellite Pour l’Observation de la Terre. Sebelum diluncurkan huruf P berarti Probatoire, setelah diluncurkan menjadi Pour. Satelit ini mengusung pengindera HRV (SPOT 1, 2, 3, 4) kemudian dikembangkan menjadi HRG (SPOT 5). Satelit ini mengorbit pada ketinggian 830 km, inklinasi 80, sekitar 101 menit/revolusi dan resolusi temporal 26 hari (www.spotimage.com).

Satelit SPOT memiliki sensor pengindera HRV (Haute Resolution Visible) yang terdiri dari dua kelompok, yaitu P (panchromatic) dan XS (multi spectral) dengan rinciannya sebagai berikut:

(a)    P 0.51 - 0.73 10m,

(b)   XS1 0.5 - 0.59 20m (hijau),

(c)    XS2 0.61- 0.68 20m (merah),

(d)   XS3 0.79- 0.89 20m (inframerah dekat).

Selain pengindera HRV tersebut, pada SPOT 4 memiliki pengindera tambahan VGT (Végetation) yang menggunakan metode penyiaman elektronik (CCD), dengan rincian:

(a)    B 0 0.430 - 0.470 1160m (biru),

(b)   B 1 0.610 - 0.680 1160m (merah),

(c)    B 2 0.790 - 0.890 1160m (inframerah dekat),

(d)   B 3 1.580 - 1.750 1160m (inframerah gelombang pendek),

 

c.       Interpretasi Citra

Interpretasi citra merupakan perbuatan mengkaji foto udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan menilai arti pentingnya obyek tersebut (Estes dan Simonet, 1975 dalam Sutanto, 1986).

Wolf (1983), JARS (1993), Lillesand and Kiefer (2000), menyatakan ada 8 kunci yang dipergunakan untuk melakukan klasifikasi obyek secara visual, yaitu bentuk, ukuran, pola, tone, bayangan, rona atau warna, tekstur dan asosiasi. Pada awalnya kunci interpretasi sangat cocok diterapkan pada citrafoto udara pankromati, tetapi dapat diterapkan pada citra satelit. Jika citra memiliki saluran multispektral maka dapat dibuat warna natural sehingga kenampakan obyek dapat digunakan teknik filtering dengan menggunakan filter yang sesuai. Berapa jenis filter digunakan untuk mengekstrak titik, garis, dan sisi obyek pada citra digital.

Lo (1976) dalam Sutanto (1986), mengemukakan bahwa pada dasarnya kegiatan interpretasi citra terdiri dari 2 tingkat, yaitu tingkat pertama berupa pengenalan obyek melalui proses deteksi dan identifikasi, dan tingkat kedua yang berupa penilaian atas pentingnya obyek yang telah dikenali tersebut, yaitu arti pentingnya tiap obyek dan kaitannya dengan antar obyek tersebut.  Tingkat pertama berarti perolehan data, sedangkan pada tingkat kedua berupa interpretasi atau analisis data. Di dalam upaya otomatisasi, hanya tingkat pertamalah yang dapat dikomputerkan.  Sedangkan tingkat kedua harus dilakukan oleh orang yang berbekal ilmu pengetahuan cukup memadai pada disiplin ilmu tertentu.

 

d.      Penginderaan jauh untuk pemantauan hutan mangrove

Studi mengenai pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk keperluan pemantauan hutan mangrove telah banyak dilakukan. Daerah Muara Angke adalah salah satu daerah yang menjadi objek kajian. Data yang digunakan adalah data Landsat MSS resolusi 80 m dan Landsat TM resolusi 30 m tahun 1984 – 1995. Data tersebut diproses dengan menggunakan metode konvensional pengenalan objek (klasifikasi), Normalisasi Selisih Indek Vegetasi (Normalized Difference Vegetaion Index/NDVI) digunakan untuk mengamati tingkat kehijauan dari vegetasi yang diamati. 

Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan luas hutan mangrove dari 239,4 ha pada tahun 1987 menjadi 142 ha pada tahun 1991, penurunan ini terjadi berkaitan dengan program pembangunan kota untuk membangun Water Front City. Namun tahun 1992 mengalami peningkatan karena keberhasilan program rehabilitasi mangrove  hingga tahun 1995 mencapai 203,9 ha.

Di Sulawesi Selatan, Ponto (2000), menggunakan data Landsat-TM tahun 1994 dan 1998 dalam melakukan pemantauan terhadap luasan dan kondisi kerapatan hutan mangrove di Kecamatan Sinjai Utara dan Sinjai Timur Kabupaten Sinjai.  Metode klasifikasi yang digunakan yaitu metode Maximum Likelihood Classification, Untuk analisis indeks vegetasi digunakan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI). 

Dari hasil tumpang susun didapatkan bahwa terjadi penambahan areal hutan mangrove 121,32 ha dan areal tambak 507,15 ha, untuk areal non mangrove dan perairan terjadi penurunan masing-masing 610,38 ha dan 18,09 ha.  Untuk kerapatan tajuk mangrove perubahan terjadi paling besar dari mangrove kerapatan jarang menjadi kerapatan sedang dan mangrove kerapatan sedang menjadi lebat, sedangkan untuk kelas penutupan lahan perubahan paling besar terjadi dari kategori tambak menjadi mangrove kerapatan jarang dan kategori non mangrove menjadi mangrove kerapatan sedang. Informasi yang didapat dari sistem penginderaan jauh merupakan hasil interaksi antara tenaga elektromagnetik dengan obyek yang diindera.

Syam (2004), melakukan penelitian dengan menganalisa hubungan Indeks Vegetasi dengan Kerapatan Jenis Mangrove Mangrove ditinjau dari Interpretasi Citra Landsat ETM + di Kabupaten Sinjai.

Hasil penelitian Syam menunjukkan bahwa Adanya hubungan antara Indeks Vegetasi dengan Kerapatan Jenis mangrove Mangrove, dimana Semakin tinggi nilai NDVI maka kerapatan makin padat, hubungan keeratan keduanya sebesar 88,8 %. Semakin tinggi nilai WI maka kerapatan mangrove akan berkurang (jarang) hubungan keeratan keduanya sebesar 74,2 % dan semakin tinggi nilai GI maka kerapatan mangrove makin padat, hubungan keeratan keduanya sebesar 84,6 %.

Apabila radiasi gelombang elektromagnetik mengenai suatu obyek, maka akan terjadi suatu proses interaksi fisis.  Proses tersebut adalah pemantulan (refleksi), penyerapan (absorpsi) dan penerusan (transmisi), dimana tenaga yang mengenai obyek sama dengan jumlah ketiga hal tersebut diatas.  Bagian tenaga yang dipantulkan, diserap, dan diteruskan akan berbeda untuk tiap obyek yang berbeda, tergantung dari jenis materi serta kondisinya.  Perbedaan ini memungkinkan untuk mengenali obyek yang berbeda pada suatu citra (Amran, 2000).  Lebih lanjut dikatakan bahwa yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk suatu obyek tertentu, bahkan untuk obyek yang sama, bagian tenaga yang dipantulkan, diserap, dan diteruskan akan berbeda pada panjang gelombang yang berbeda. 

Penafsiran keadaan vegetasi dan jenis tumbuh-tumbuhan berdasarkan potret udara atau citra satelit dilakukan dengan memperhatikan adanya perbedaan-perbedaan: rona (tone) atau tingkat keabuan gambar/citra, tekstur, pola letak, bentuk, ukuran, letak geografis, letak pada susunan topografi, dan faktor-faktor lain yang timbul sebagai kesimpulan dari analisis berdasarkan pengetahuan ekologi (Wiroatmodjo, 1995).

Aplikasi lebih baru, dari penginderaan jauh multispektral telah menitikberatkan pada estimasi jumlah dan distribusi vegetasi.  Estimasi tersebut didasarkan pada pantulan dari kanopi vegetasi.  Intensitas pantulan tergantung pada panjang gelombang yang digunakan dan tiga komponen vegetasi yaitu daun, substrat dan bayangan.  Daun-daun memantulkan lemah pada panjang gelombang biru dan merah, namun memantulkan kuat pada panjang gelombang inframerah dekat.  Komponen bayangan dari kanopi vegetasi sangat gelap pada panjang gelombang tampak dengan radiasi yang diabsorpsi kuat oleh daun, namun cukup gelap pada panjang gelombang infra merah dekat dengan radiasi yang diabsorpsi ringan oleh daun

Perlu diperhatikan bahwa deteksi perubahan pantulan tergantung pada kontras pantulan antara daun hijau dengan substrat. Pantulan pada panjang gelombang inframerah dekat lebih peka terhadap perubahan pada vegetasi hijau dalam substrat berona cerah dibanding dengan substrat berona gelap. Faktor lingkungan lain yang berpengaruh adalah pantulan kanopi vegetasi termasuk sudut matahari dan sensor. Sudut matahari mengontrol areal dan kegelapan bayangan. Sudut pandang sensor menentukan jumlah substrat (tanah) tampak pada sensor. Karena sudut pandang bergerak vertikal, maka tanah yang lebih sedikit dan vegetasi yang lebih banyak akan menjadi jelas (Lo, 1996).

Karakterisik spektral vegetasi sangat dipengaruhi oleh karakteristik spektral daun, khususnya karakteristik pigmen daun, dan kandungan air daun pada wilayah spektral visible, infra merah dekat, infra merah tengah.  Karakteristik daun ini secara ringkas disajikan pada Tabel 1 (Dimyati, 1998).

 

Bagian spektral (micron)

Karakteristik spektral

0,5 – 0,75 (visible light)

 

 

 

0,75 – 1,35 (near infra red)

 

­

1,35 – 2,5 (mid infra red)

Bagian serapan pigmen didominasi oleh pigmen-pigmen, chlorophyll primer a dan b, carotene, dan anthophylls.

Bagian pantulan tinggi near infra red; dipengaruhi oleh struktur internal daun

Bagian serapan air dipengaruhi oleh struktur daun, tetapi paling dipengaruhi oleh konsentrasi air dalam jaringan.

Tabel  1. Karakteristik Spektral Daun  (Sumber: Dimyati, 1998).

 

 

 

e.       Indeks Vegetasi

Tanggapan spektral vegetasi dipengaruhi juga oleh sumber sumber variasi spektral lainnya, seperti jenis tanah dan aspek lereng. Pengaruh sumber-sumber variasi spektral di luar obyek kajian dapat dikurangi melalui transformasi saluran spektral. Transformasi saluran spektral merupakan teknik manipulasi citra yang dapat menampilkan fenomena tertentu pada citra secara lebih ekspresif. Pada transformasi ini, informasi spektral berupa nilai pixel pada beberapa saluran digabung menjadi suatu saluran baru (Amran, 2000).

Danoedoro (1996), dikatakan bahwa Indeks vegetasi merupakan suatu algoritma yang diterapkan terhadap citra (biasanya multi saluran), untuk menonjolkan aspek kerapatan vegetasi ataupun aspek lain yang berkaitan dengan kerapatan, misalnya biomassa, Leaf Area Index (LAI), konsentrasi klorofil, dan sebagainya. Atau lebih praktis, indeks vegetasi adalah merupakan suatu transformasi matematis yang melibatkan beberapa saluran sekaligus untuk menghasilkan citra baru yang lebih representatif dalam menyajikan aspek-aspek yang berkaitan dengan vegetasi.

Salah satu transformasi indeks vegetasi yang digunakan adalah Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) yang merupakan kombinasi antara teknik penisbahan dan pengurangan citra antara saluran infra merah dekat dan saluran merah (Amran, 2000).  NDVI mampu menunjukkan aspek kerapatan vegetasi (Danoedoro, 1996). 

Analisis zonasi kerapatan mangrove dilakukan berdasarkan hasil perhitungan NDVI menggunakan kanal 4 (infra merah) dan 3 (merah). Pemilihan ini didasarkan pada suatu pertimbangan kesederhanaan dan kemudahan operasional (Dewanti, 1999). Untuk memudahkan pengamatan situasi tingkat kerapatan kanopi vegetasi di lapangan, maka ditampilkan ilustrasi tingkat kerapatan  kanopi dengan kisaran nilai NDVI yang ditunjukkan pada Gambar 4 (Dewanti, 1999).

Dimyati (1998), menjelaskan bahwa dalam studi vegetasi atau liputan lahan, rasio antar kanal yang sering digunakan adalah NDVI dengan rumusan :

NDVI  = 

Dimana K adalah konstanta yang biasanya 128, untuk mendapatkan gradasi citra yang cukup luas.  Sedangkan Rnir dan Rred masing-masing adalah nilai digital dari kanal IR dekat dan merah.  Lebih lanjut dikatakan bahwa NDVI digunakan sebagai media pengukur semi kuantitatif dari kepadatan vegetasi dan kegiatan klorofil.

Secara aritmatis, teknik normalisasi semacam NDVI digunakan untuk mendapatkan angka rasio yang tak bersatuan, yang bernilai antara –1 hingga +1, oleh karena spektrum NIR merupakan wilayah karakteristik High Reflectance dan spektrum merah adalah wilayah maksimum absorpsi (Minimum Reflectance) dedaunan, maka nilai NDVI vegetasi akan selalu positif dan berbanding langsung dengan biomassa daun persatuan luas.  Oleh karenanya NDVI lazim digunakan sebagai indikator yang akurat bagi tingkat penutupan vegetasi (Loveland, 1991). 

Nilai rasio digital untuk mangrove haruslah tinggi mengingat band 4 adalah saluran infra merah dekat dengan pantulan tinggi serta band 3 adalah saluran merah dengan penyerapan tinggi (pantulan rendah).  Makin rapat vegetasi mangrove maka nilai pantulan pada saluran infra merah dekat makin tinggi dan nilai pantulan pada kanal merah makin rendah.  Dengan demikian, makin rapat tutupan kanopi vegetasi, maka nilai NDVI nya akan semakin besar (Amran, 2000).

Salah satu transformasi yang banyak digunakan dalam mengkaji vegetasi adalah transformasi indeks vegetasi. Indeks vegetasi merupakan suatu transformasi  matematis yang melibatkan beberapa saluran sekaligus untuk menghasilkan citra baru yang representatif dalam menyajikan aspek-aspek yang berkaitan dengan vegetasi.

Variasi nilai indeks vegetasi mencerminkan kondisi jenis vegetasi dan karakteristik lainnya dari vegetasi yang diwakili. Setiap jenis obyek tertentu akan memberikan nilai indeks vegetasi sesuai dengan karakteristiknya. Berdasarkan hal tersebut, karakteristik suatu obyek dapat diketahui melalui analisis nilai-nilai indeks vegetasi (Harsanugraha, 1996).

Sumbu kecerahan berkaitan dengan variasi pantulan tanah. Sumbu kehijauan berhubungan dengan variasi pantulan vegetasi hijau. Sumbu kebasahan berkaitan dengan kelembapan tanah dengan kan Pada umumnya mangrove jenis Avicennia spp. Dan Sonneratia spp mempunyai nilai NDVI relatif rendah dibanding dengan Rhizophora spp. Dan Bruguiera spp.

Hal tersebut banyak dipengaruhi oleh bentuk, ukuran, kerapatan, warna daun, maupun asosiasi dengan tumbuhan bawah yang menutup permukaan lahan (Dewanti, 1999).  Lanjut dikatakan bahwa tingkat kerapatan kanopi dan nilai indeks vegetasi tersebut adalah sebagai berikut:

(a)    ≤ 20 % (sangat jarang), kisaran nilai NDVI > 0,01 sampai 0,18,

(b)   21-40 % (jarang), kisaran nilai NDVI 0,18 sampai 0,32,

(c)    41-60 % (sedang), kisaran nilai NDVI 0,32 sampai 0,42,

(d)   61-80 % (lebat), kisaran nilai NDVI 0,42 sampai 0,47,

(e)    ≥ 80 % (sangat lebat), kisaran nilai NDVI ≥ 0,47.

Dengan pendekatan rasio antara kelas mangrove lebat dengan mangrove jarang berarti makin tinggi nilai rasio tersebut (nilai max = 1), maka makin baik kualitas mangrove setempat (Dewanti, 1999).

 

f.        Pantulan spektral vegetasi mangrove

Pantulan spektral vegetasi sangat bervariasi terhadap panjang gelombang. Pantulan spektral vegetasi sangat dipengaruhi oleh pigmentasi, struktur internal daun dan kandungan uap air (Hoffer, 1978 dalam Amran, 1999).

 

Gambar 2.3: Kurva pantulan spektral vegetasi  (Sumber:  Hoffer, 1978 dalam Amran, (1999).

 

Pengaruh pigmentasi sangat dominan pada panjang gelombang tampak (0,4 – 0,7 μm).  Kurva pantulan spektral vegetasi menunjukkan bahwa nilai pantulan sangat rendah pada panjang gelombang biru dan merah.  Rendahnya nilai pantulan pada panjang gelombang ini berhubungan dengan dua pita serapan klorofil pada panjang gelombang 0,45 μm dan 0,65 μm.  Klorofil dalam daun menyerap sebagian besar dari tenaga yang datang dengan panjang gelombang tersebut.  Puncak pantulan pada spektrum tampak adalah 0,54 μm yang merupakan panjang gelombang hijau.

Tumbuhan mangrove yang sehat mempunyai daun berwarna hijau.  Warna hijau yang dominan pada daun mangrove menunjukkan adanya kandungan klorofil yang banyak, yang akan menyerap banyak energi pada saluran biru dan merah namun serapannya lebih rendah pada saluran hijau (Amran, 1999).

Gambar 2.3 menunjukkan karakteristik kurva pantulan spektral pada beberapa spesies tumbuhan mangrove.  Rerata pantulan spektral tumbuhan mangrove pada kanal TM 1 bernilai 6,84% - 10,25%, pada saluran TM2 bernilai 8,35% - 10,98% dan pada saluran TM3 bernilai 5,54% - 8,79%.  Dalam gambar terlihat rerata pantulan spektral kanal TM1 dan TM3 lebih rendah daripada pantulan spektral pada saluran TM2.  Hal ini berkaitan dengan pita serapan klorofil pada spektrum biru dan spektrum merah.  Klorofil dalam daun menyerap sebagian besar dari energi yang datang dengan panjang gelombang yang sesuai dengan spektrum biru dan merah.

 

 

Gambar 2.4: Karakteristik Kurva Pantulan Spektral dari Beberapa Spesies Tumbuhan Mangrove (Sumber : Amran, 1999)

 

g.      Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografi (SIG) adalah suatu sistem informasi yang dirancang untuk bekerja dengan data yang berreferensi spasial atau berkoordinat geografi. SIG dapat diasosiasikan sebagai peta yang berorde tinggi yang juga mengoperasikan dan menyimpan data non spasial (Star dan Estes, 1990 dalam Barus dan Wiradisastra, 2000). Disebutkan juga  SIG telah terbukti kehandalannya untuk mengumpulkan, menyimpan, mengelola, menganalisa dan menampilkan data spasial baik biofisik maupun sosial ekonomi. Star dan Estes mengemukakan bahwa secara umum SIG menyediakan fasilitas-fasilitas untuk mengambil, mengelola, memanipulasi dan manganalisa data serta menyediakan hasil baik dalam bentuk grafik maupun dalam bentuk tabel, namun demikian fungsi utamanya adalah untuk mengelola data spasial 

Keuntungan GIS adalah  kemampuan untuk menyertakan data dari sumber berbeda untuk aplikasi deteksi perubahan. Walaupun, penggabungan sumber data dengan perbedaan akurasi sering mempengaruhi hasil deteksi perubahan. Lo dan Shipman (1990) menggunakan pendekatan GIS untuk menghitung dampak pengembangan kota baru  di Hong Kong, melalui integrasi data multi-temporal foto udara pada land use dan menemukan bahwa overlay citra dengan teknik  masking biner bermanfaat dalam  menyatakan secara kuantitatif dinamika perubahan pada masing-masing kategori landuse. Di tahun terakhir, pemakaian data multi-sumber (misal: foto udara, TM. SPOT dan peta thematik sebelumnya) sudah menjadi metoda penting untuk deteksi perubahan land-use and land-cover ( LULC) (Mouat dan Lancaster 1996, Salami 1999, salami et al. 1999,  Reil et al. 2000, Dan  Lambin 2001. Chen 2002, Weng 2002), khususnya apabila deteksi perubahan  merupakan periode interval yang panjang dihubungkan dengan sumber data yang berbeda, format dan  ketelitian atau analysis perubahan land-cover multi-scale (Petit dan Lambin 2001).

Banyak pendekatan aplikasi GIS terdahulu untuk deteksi perubahan yang difokuskan pada daerah urban. Ini mungkin karena metoda deteksi perubahan tradisional sering menghasilkan deteksi perubahan yang tidak betul karena kompleksitas landscape urban dan model tradisional  tidak bisa digunakan secara efektif menganalisa data multi-sumber. Sehingga, kekuatan fungsi GIS memberikan alat yang menyenangkan untuk pengolahan data multi-sumber dan efektif dalam menangani analisa deteksi perubahan yang menggunakan data multi-sumber. Banyak penelitian difokuskan pada integrasi GIS dan teknik penginderaan jauh yang diperlukan untuk analisis deteksi perubahan yang lebih akurat.

 

Tidak ada komentar:

Pulau Tanakeke