1/10/2009

LATAR BELAKANG

A.    Latar Belakang

Ada kecenderungan telah terjadi pergeseran fungsi peta, terutama pada dua dasawarsa terakhir. Peta yang pada awalnya lebih difokuskan sebagai sarana penyajian fenomena muka bumi dan segala aktifitasnya, bergeser dan berubah menjadi sarana untuk analisis keruangan (spasial). Karena fungsinya yang bergeser dan bertambah, maka tuntutan terhadap keberadaan peta tidak terbatas pada aspek tampilan tetapi dari aspek sarana analisis keruangan (PUSBANGJA-LAPAN, 2002).

Untuk dapat memposisikan peta sebagai sarana analisis yang baik, maka pengelolaan peta atau informasi spasial harus dilakukan secara digital. Pengelolaan informasi spasial secara digital mengharuskan penanganan yang lebih komplek meliputi struktur data, cara input, system proyeksi dan lainnya. Pengelolaan informasi spasial digital ini lebih bersifat dinamis, karena perubahan (updating) informasi atau penambahan informasi dilakukan lebih sederhana (PUSBANGJA-LAPAN, 2002).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43).

Kata mangrove mempunyai dua arti, pertama sebagai komunitas, yaitu komunitas atau masyarakat tumbuhan atau hutan yang tahan terhadap kadar garam/salinitas (pasang-surut air laut), dan kedua sebagai individu spesies (Supriharyono, 1968).

Hingga saat ini perjuangan para aktivis lingkungan hidup baik dari LSM lingkungan (NGO / Non Goverment Organisation), dan masyarakat kampus untuk mengawal dan mengawasi pembangunan yang tidak berpihak pada pelestarian lingkungan hidup secara umum dan ekosistem mangrove secara khusus, sering mengalami kesulitan pada kurangnya data pendukung yang valid walaupun literatur dan wacana tentang pelestarian dan arti penting ekosistem mangrove tersebar luas. Situasi ini juga ditunjang oleh meningkatnya ego sektoral antar departemen atau lembaga pemerintah yang memiliki wewenang dan tanggung jawab sebagai penyedia data tersebut. Akibatnya, terdapat indikasi tingginya harga yang harus dibayar untuk sebuah informasi spasial, kualitas dan atribut yang dibutuhkan oleh lembaga atau perorangan yang berinisiatif dalam melakukan kerja pelestarian ekosistem mangrove.

Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi yang makin pesat sekarang ini, maka pemanfaatan teknologi ini dalam penginderaan jauh (Inderaja) dapat menghadirkan informasi data spasial yang lebih cepat, akurat dan murah. Untuk itu, penelitian ini melakukan kajian bagaimana menerapkan peta sebagai alat dan model analisis serta media informasi spasial dengan judul, ”Pemetaan Persebaran dan Kerapatan  Jenis Mangrove di Pulau Tanakeke Kabupaten Takalar dengan Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh”

Tidak ada komentar:

Pulau Tanakeke